Sekitar empat hari
yang lalu, ketika mata sudah mengantuk, tiba-tiba seorang dosen mem-posting
sebuah pengumuman di grup Peer Counselor. Pengumuman ini berisi ajakan
untuk memberi konseling. Kali ini tidak biasa, bukan murid sekolah ataupun
kampus, melainkan orang-orang yang akan dikonseling ini adalah ex-Gafatar.
Grup yang
biasanya ramai karena ajakan untuk memberi konseling, malam itu tampak sepi. Boleh
jadi anak-anak memang sedang fokus menyusun proposal skripsi, atau ngeri sama
klien, atau memang punya kesibukan lain. Awalnya memang agak ngeri sih. Seperti
yang saya tahu dari pemberitaan di televisi, Gafatar adalah aliran sesat. Yang sudah
saya bayangkan adalah banyak dari mereka yang depresi, sudah berhalusinasi,
memiliki waham, delusi, dsb. Meski demikian, “sebagai konselor kita harus
menerima semua klien dengan rahmah,” kata Robert Frager.
Okay, saya ambil
kesempatan ini. Saya menuliskan nama saya sebagai relawan konselor yang ikut ke
sana. Dan tak lama kemudian, ada beberapa teman yang juga mendaftarkan namanya.
Alhamdulillah jadi lebih rame. Yang ada di bayangan saya adalah, di
tempat singgah para ex-Gafatar ini akan sangat ramai, dan saya pikir akan
memberi konseling ke semua alumni Gafatar.
Esoknya, setelah
kita dibekali ilmu konseling oleh Pak Asep Haerul Gani, kita langsung pergi ke tempat singgah
sementara para alumni Gafatar ini. Saya mengira tempatnya jauh di Jakarta,
ternyata di Rumah Singgah Dinas Sosial, di Kademangan, TangSel (ini mah deket
banget dari rumah). Dan pas saya tiba, ternyata prediksi saya tak sepenuhnya
benar.
Langsung saja,
kami mulai dengan buliding rapport. Karena banyak anak kecil di sana,
kami mulai dengan bermain-main dulu. Setelah itu, baru kami memperkenalkan diri
dan bergantian dengan para alumni Gafatar ini. Kemudian mereka (para ex-Gafatar)
menceritakan segalanya dari sudut pandang mereka.
Mendengar ceritanya
agak aneh sih. Apa yang mereka ceritakan tidak seperti apa yang diceritakan
media massa. Mereka bilang, di sana sudah hidup makmur. Tanah murah, belum
banyak saingan dalam berdagang, di sana mereka hidup hanya bertani, masyarakat
sekitar juga ramah terhadap mereka. Dan mereka bilang bahwa mereka sudah
meninggalkan Gafatar dari sebelum pemberitaan tentang Gafatar ramai di
televisi. Mereka tak pernah membahas soal agama di Gafatar. Inilah kata mereka.
Perasaan damai, nyaman,
tentram yang sudah mereka rasa tiba-tiba sirna, karena keputusan pemerintah
untuk mengevakuasi mereka. Sebenarnya mereka sudah mulai merasa risih semenjak
kampung mereka sudah diawasi intel. Awalnya mereka pikir, tidak akan terjadi
apa-apa, hingga mereka dapat kabar untuk segera pindah secara mendadak. Tak ada
hal lain yang mereka pikirkan, kecuali membawa anak, keluarga, dan barang yang
benar-benar pokok. Harta mereka yang katanya sudah puluhan bahkan
ratusan juta, mereka tinggalkan.
Mereka kecewa
dengan keputusan pemerintah yang meminta mereka untuk pindah secara dadakan dan
karena pemberitaan bahwa mereka termasuk aliran sesat. Kini mereka bingung mau
tinggal di mana, karena mereka hanya diberi waktu sementara untuk tinggal di
rumah singgah. Mereka berharap pemerintah dapat memberi ganti rugi, atau
minimal memberi tempat tinggal seperti kontrakan dan modal untuk usaha. Selain itu
mereka berharap masyarakat dapat menerima mereka layaknya orang lain.
Entah siapa yang
mau dipercaya. Entah kata-kata alumni Gafatar ini atau kata media massa. Yang pasti
sebagai ilmuwan psikologi, bukan mengurusi apakah mereka ini golongan sesat
atau lurus, tetapi yaaa fokus di psikologis mereka saja.
No comments:
Post a Comment