Saturday, 30 January 2016

#2 Konseling Ex-Gafatar?



Sekitar empat hari yang lalu, ketika mata sudah mengantuk, tiba-tiba seorang dosen mem-posting sebuah pengumuman di grup Peer Counselor. Pengumuman ini berisi ajakan untuk memberi konseling. Kali ini tidak biasa, bukan murid sekolah ataupun kampus, melainkan orang-orang yang akan dikonseling ini adalah ex-Gafatar.
Grup yang biasanya ramai karena ajakan untuk memberi konseling, malam itu tampak sepi. Boleh jadi anak-anak memang sedang fokus menyusun proposal skripsi, atau ngeri sama klien, atau memang punya kesibukan lain. Awalnya memang agak ngeri sih. Seperti yang saya tahu dari pemberitaan di televisi, Gafatar adalah aliran sesat. Yang sudah saya bayangkan adalah banyak dari mereka yang depresi, sudah berhalusinasi, memiliki waham, delusi, dsb. Meski demikian, “sebagai konselor kita harus menerima semua klien dengan rahmah,” kata Robert Frager.  
Okay, saya ambil kesempatan ini. Saya menuliskan nama saya sebagai relawan konselor yang ikut ke sana. Dan tak lama kemudian, ada beberapa teman yang juga mendaftarkan namanya. Alhamdulillah jadi lebih rame. Yang ada di bayangan saya adalah, di tempat singgah para ex-Gafatar ini akan sangat ramai, dan saya pikir akan memberi konseling ke semua alumni Gafatar.
Esoknya, setelah kita dibekali ilmu konseling oleh Pak Asep Haerul Gani,  kita langsung pergi ke tempat singgah sementara para alumni Gafatar ini. Saya mengira tempatnya jauh di Jakarta, ternyata di Rumah Singgah Dinas Sosial, di Kademangan, TangSel (ini mah deket banget dari rumah). Dan pas saya tiba, ternyata prediksi saya tak sepenuhnya benar.
Langsung saja, kami mulai dengan buliding rapport. Karena banyak anak kecil di sana, kami mulai dengan bermain-main dulu. Setelah itu, baru kami memperkenalkan diri dan bergantian dengan para alumni Gafatar ini. Kemudian mereka (para ex-Gafatar) menceritakan segalanya dari sudut pandang mereka.
Mendengar ceritanya agak aneh sih. Apa yang mereka ceritakan tidak seperti apa yang diceritakan media massa. Mereka bilang, di sana sudah hidup makmur. Tanah murah, belum banyak saingan dalam berdagang, di sana mereka hidup hanya bertani, masyarakat sekitar juga ramah terhadap mereka. Dan mereka bilang bahwa mereka sudah meninggalkan Gafatar dari sebelum pemberitaan tentang Gafatar ramai di televisi. Mereka tak pernah membahas soal agama di Gafatar. Inilah kata mereka.
Perasaan damai, nyaman, tentram yang sudah mereka rasa tiba-tiba sirna, karena keputusan pemerintah untuk mengevakuasi mereka. Sebenarnya mereka sudah mulai merasa risih semenjak kampung mereka sudah diawasi intel. Awalnya mereka pikir, tidak akan terjadi apa-apa, hingga mereka dapat kabar untuk segera pindah secara mendadak. Tak ada hal lain yang mereka pikirkan, kecuali membawa anak, keluarga, dan barang yang benar-benar pokok. Harta mereka yang katanya sudah puluhan bahkan ratusan juta, mereka tinggalkan.
Mereka kecewa dengan keputusan pemerintah yang meminta mereka untuk pindah secara dadakan dan karena pemberitaan bahwa mereka termasuk aliran sesat. Kini mereka bingung mau tinggal di mana, karena mereka hanya diberi waktu sementara untuk tinggal di rumah singgah. Mereka berharap pemerintah dapat memberi ganti rugi, atau minimal memberi tempat tinggal seperti kontrakan dan modal untuk usaha. Selain itu mereka berharap masyarakat dapat menerima mereka layaknya orang lain.
Entah siapa yang mau dipercaya. Entah kata-kata alumni Gafatar ini atau kata media massa. Yang pasti sebagai ilmuwan psikologi, bukan mengurusi apakah mereka ini golongan sesat atau lurus, tetapi yaaa fokus di psikologis mereka saja.